Kamis, 26 September 2013

Melihat Sifat Seseorang dengan Naik Gunung

Selama ini saya yakin, jika ingin melihat sifat asli seseorang, suruh dia menyetir. Bukan 1-2 jam, tapi kalau bisa seharian. Tapi, kata teman saya, melihat sifat orang juga bisa dengan perjalanan saat naik gunung.
 
Kalau dengan menyetir, lewati saja rute-rute yang membuat stres. Lihat bagaimana ia mengatasi kemacetan, bagaimana dia menanggapi kendaraan lain yang mengesalkan dan lainnya. Juga, lihat bagaimana reaksi mereka saat jalan yang dilewati ternyata salah. Dari situ terlihat jelas apakah dia orang yang pemarah, penyabar, lelet, malas dan lain-lain.

Selama ini berhasil saja, sampai akhirnya teman saya yang bernama Bagus Sekti Wibowo yang biasa dipanggil Dado berkata, "Kalau mau liat sifat asli orang, ajak naik gunung," ujarnya sambil menyeka hidung yang sudah terlalu banyak kemasukan debu dan tanah.

Kemarin, saya bersama sahabat entah berapa belas tahun saya, Rani Amelia yang biasa saya panggil Ayam, dan Dado naik gunung. Bukan gunung yang tinggi dan juga bukan gunung yang menantang seperti di film 5cm. Gunung Prau di dataran tinggi Dieng ini jadi pilihan kami karena awalnya kami memang ingin liburan ke Wonosobo.

Tapi karena waktu itu saya membuat artikel yang mengharuskan wawancara dengan Harley B Sastha, sang empunya buku Mountain Climbing for Everybody, jadilah saya tergoda ingin ke Prau.

"Di Prau ada Bukit Teletubbies yang kalau musim kemarau ditumbuhi bunga cantik sekali. Rutenya juga gak susah, tingginya lumayan, enak deh," ujarnya dengan penuh persuasif.

Jadilah kami berangkat. Dengan pede setingkat Burj Al Arab, saya semangat sekali naik gunung. Maklum, belum pernah sama sekali. Tidak mengagetkan, baru berapa langkah mendaki, saya langsung balik badan dan melempar tas sambil menasbihkan diri, "Udah gua anak pantai!".

Mungkin saya kurang tidur, mungkin saya kelaparan atau tidak tahan dingin. Dada seperti ditusuk-tusuk, mata berkunang-kunang, jantung berdegup kencang dan badan keringat dingin. Saya cuma tidak mau collapse di kampung orang. Jadi saya duduk dengan nestapa di tepian terasiring penduduk. Meninggalkan kedua teman saya yang berdiri dengan sabar menunggu saya kembali berdiri.

Singkatnya, dengan pakai jaket agar badan tetap panas, saya lanjutkan perjalanan. Dan, ngg, dengan tas dibawakan oleh Dado, saya melanjutkan trekking. Setelah berkali-kali berhenti (karena saya), akhirnya kami benar-benar berhenti untuk makan siang.

Ya benar, setelah makan siang, saya kembali bawa tas sendiri. Rani, anak yang belum pernah naik gunung tapi sangat suka dengan gunung (tidak aneh ya) ini mendaki terus tanpa merasa lelah. Ia sempat beberapa kali tidur siang demi menunggu saya dan Dado (ia selalu menunggu di belakang saya karena tidak percaya jika saya ditinggal sendiri).

Makin ke puncak, makin ketek sekali treknya. Saya megap-megap. Dado kerap menyemangati saya dengan kata-kata palsu "dua belokan lagi sampe pi!". Pret!

Di nafas seadanya, dan sudah benar-benar kesal dengan jalan yang curam, saya berteriak minta tolong ke Rani (yang sudah di puncak) untuk turun dan membawakan tas saya. Mungkin karena semangat, mungkin karena kasihan, ia turun kembali dan mengambil tas saya.

Sepanjang perjalanan, tak ada yang menjatuhkan saya dengan kata-kata pedas. Sepanjang pendakian, mereka mau menunggu saya dengan sabarnya. Padahal, tas yang dibawa Dado benar-benar berat. Padahal, saya tahu betapa tak sabarnya Rani ingin segera sampai puncak.

Mereka baik. Tanpa dipaksa. Tanpa syarat. Sungguh sayang saya (semoga iya). Nah, setelah sampai puncak, barulah banjiran ceng-cengan dan hinaan menumpahi saya. Toh tapi waktu saya kedinginan mereka tetap mencarikan yang terbaik buat saya agar tidak gemetaran lagi.

Sebenarnya, tanpa naik gunungpun saya tahu seperti itu sifat mereka. Itulah yang terpampang di keseharian mereka. Tapi dengan ini, saya jadi yakin, ya memang seperti itulah sifat asli mereka.

Saya pun bisa mengenal diri sendiri dengan lebih baik. Bagaimana saya menghadapi saat putus asa. Bagaimana melewati batas kemampuan. Sejauh mana saya mau mengejar orang lain yang lebih dulu. Bagaimana saya menyayangi diri sendiri. Serta, bagaimana saya tetap bisa bersenang-senang saat sedang tersiksa. :)


up up there


*#30haringisiblog day 2
27.9.2013 11.26 AM
Tanggalan di komputer lagi berantakan jadinya publishnya keliatan kemarin deh. Sumpah deh ini hari Jumat. :DD

Tidak ada komentar: