Kamis, 30 Desember 2010

what's wrong??

what the hell is going on with speedy blocking access??
why can't i open social networks even my yahoo mail??
gosh!!!

Minggu, 26 Desember 2010

in my life, i love them more.

Pada dasarnya saya seorang introvert sejati, tetapi karena saya geminis, tidak aneh jika saya memiliki sifat introvert sekaligus extrovert.
Saya tidak suka memulai hubungan sosial, berteman merupakan sesuatu yang natural bagi saya. Saya tidak pernah mencari teman, apa yang ada di dalam hidup saya semata karena kehendak sang waktu. Saya benar-benar bukan orang asing yang menyenangkan. Saya mampu duduk diam seharian di sebelah anda, tanpa ada niat sedikit pun untuk sekedar menyapa atau menanyakan nama anda. Oleh karena itulah saya sering sekali nyasar sendiri karena enggan bertanya. Entah itu takut atau sekedar malas. :)
Masalah naturalisasi dalam pertemanan, saya selalu mensyukuri semua jiwa yang sudah hinggap di lorong kehidupan saya. Mereka yang pernah dan masih ada di lingkaran hidup saya. Yang ada di puncak tertinggi atau di lembah terendah fase kehidupan ini. 
Akhir-akhir ini, teman-teman sedang bergulir manis di sirkulasi keseharian saya. Entah itu teman kuliah, SMU, SMP atau teman bermain yang tak jelas asalnya dari mana. :)
Sesaat setelah saya menghabiskan waktu bersama mereka, senyum selalu terkembang sempurna di bibir saya dan saya pun berbisik 'i love my life' dengan sedikit lompat-lompat di perjalanan pulang. Saya selalu mensyukuri semua ini, tak jarang saya berbincang pada bulan dan melempar senyum terbaikku bersama rasa syukur kepada Tuhan saya.
Meski sering juga kami terlibat cekcok yang berakhir perang dingin berhari-hari. Sakit hati, mengutuki kelakuan mereka yang semena-mena, lalu akhirnya bosan sendiri dan kembali merangkai hari bersama mereka dimana cerita cekcok itu akan menjadi pembahasan yang mengundang tawa di kala selanjutnya.
Saya ingin narsis, (terang-terangan saja ya :P) sekaligus ingin mengenalkan beberapa lentera di kehidupan saya yang meriah ini. Enjoy!


konsumen bakso malang yang punya lambung sebesar lumbung.

wonder girls para pembuat panggung.

smile, teachers! :)


gadis ini benar-benar sedih, dan kami benar-benar sedang menghiburnya. terlihat kan? :)


midnite sale di senayan, kalap dahulu, lalu kebingungan bagaimana cara pulang. :P
kami mau bbq party, cuma ber 6, tapi belanja seperti anggotanya ada 20. :D
sesaat sebelum memasak makanan yang menggunung itu.


karaoke time!


di ruangan bersuhu rendah ini, kami masih bisa berkeringat.



yap, siap meramaikan GBK!



"skornya berapa?" "sebentar, ambil dulu foto kita!"

bapak yang tidak diundang sama sekali. ia sedang jalan, langsung seketika berhenti dan berpose ketika melihat kamera menyala. :))



and i do miss this girls!! *see you soon deary :*



anak labil yang tidak mengakui keadaan jiwanya yang memang labil.




















si sinis yang hatinya seluas samudra.














nenek tua yang terperangkap di tubuh anak kecil.










this fresh heart girl. hatinya baru saja terbuka. :))








Rabu, 15 Desember 2010

Beauty of Life II

Aku kembali ke toko servis hp, tempat si huronku tergeletak tak berdaya. Sudah ketiga kalinya, dan hpku belum sembuh juga. Aku sudah membayar mahal, terjebak. Jadi demi memaksimalkan apa yang sudah kubayar dan apa yang ia tawarkan, aku tetap menghantui mereka.

Aku tahu sifat orang ini, penipu cerdas. Banyak bicara, dengan bahasan menarik dan akhirnya menjebak si objek. Aku tahu, aku memborder diri. Ia tahu dan tersenyum sama-sama tahu. Meski begitu, ia masih saja mencoba menawarkanku barang-barang dengan harga dua kali lipat, atau memanipulasi info sehingga jadi membingungkan. Aku menerka-nerka, siapa yang mampu hidup bersamanya? Dengan sifat yang sebegitunya.

Tak lama datang dua orang, satu orang dewasa, satu anak kecil. Si anak kecil memiliki garis-garis wajah dengan orang licik ini. Si licik tersenyum super indah ketika melihat si anak kecil.

“kakak..!”

Anaknya. Pancar sayang tertumpah di toko kecil itu, hangat menjalar membuatku menarik senyum tanpa kusadari. Sang orang dewasa, manis dan terlihat sabar, tersenyum sopan kearahku. Sang istri. Mereka berbincang hal sepele, aku mengutak-atik ipod, sok sibuk mencari sinyal wifi. Aku mendengarkan perbincangan mereka. Si licik masih tak bisa melepaskan titel liciknya, sifat bawaan, tak bisa hilang seratus persen. Sang istri menanggapi dengan santai tapi menusuk, penuh sayang tapi tetap berhati-hati. Hubungan apa yang sedang mereka jalani? Tapi kulihat wajah mereka sama-sama bahagia. Ya mungkin itu yang mereka cari, kebahagian dengan bentuknya sendiri.

Cinta bisa datang dengan bentuk apa saja dan ke siapa saja. Dan bisa benar-benar bahagia tanpa ada yang mampu mengerti mereka, cukup hati yang merasa.

Malam mengintervensi, tak peduli dengan badai yang sedang asyik mengamuk. Gelap, hujan, angin dan klakson. Hah. Tapi tak lama badai pergi, meninggalkan jalanan yang jauh dari sepi. Aku memilih berjalan kaki daripada terjebak macet.

Jalan kaki malam ini tentu tidak bisa mengajak serta sepatu kilap-kilapku yang centil ini. ia terlalu manis untuk dihantam dengan lumpur setelah badai. Aku pun memutuskan untuk membeli sandal jepit, seingatku masih ada uang di dompet. Merasa tak yakin, aku mengintip dompetku, ternyata tidak cukup. Aku tidak rela menerjang lumpur dan becek dengan si centil ini, tapi ada daya? Yasudah. :)

Langkah pertamaku disambut taksi yang berjalan dengan setengah badannya ada di trotoar, entah apa maksudnya itu. Berlanjut menuju tepian jalan, aku berjalan pelan menikmati kelap kelip lampu dan jejeran kendaraan terparkir di tengah jalan dengan menyumpal telingaku mendengarkan lagu sinzing sunset boulevard yang menyenangkan.

Pemandangan yang kudapati: Bapak dan anak yang sedang asyik mengobrol dengan membawa aki bersama. Sungguh manis. Angkot mogok dengan dua orang sibuk di dalamnya. Penerangan yang temaram dengan latar belakang warna warni merah dan terang, indah. Penjaga toko asongan yang sedang merokok, angin yang tipis membuat asapnya bergerak perlahan disekitarnya. Lampu merah tempat aku menyebrang, putih terang di depanku, merah statis dibelakangku. Mobil tua yang berhenti menyilang disampingku. Entah memang cari mati atau benar-benar bodoh, ia ingin menembus lampu merah dan terjebak di tengah. Padahal ada dua polisi sedang mengatur jalanan didepannya. Pasti ia memiliki alasannya sendiri, mungkin. Hidup penuh dengan hal-hal yang tidak kita mengerti.



Selesai dengan masalah jalan raya yang terlihat menyenangkan dengan soundtrack yang tepat, kini saatnya menikmati jalan setapakku. Mataku menatap lampu jalan, biasanya habis hujan pasti mati dan hal itu membuatku harus berjalan di tepi jalan, karena aku takut jalan di trotoar yang gelap. :P

Tapi syukurnya, malam ini lampu jalan menyala rata. Mataku terseret ke titik cahaya di langit.

Bulan malam ini sangat indah!

Ada halo terang disekelilingnya, awan pekat berwarna abu-abu terpecah disekitarnya, seperti retakan laut es di kutub utara. Bintang utara setia menemani sang bulan. Terasa romantis, apa pun hubungan yang sedang mereka bina. Bulan malam ini mirip dengan bulan yang tersaji di malam tahun baru, pukul 2 pagi. Langit benar-benar cerah dan bulan bersinar megah, dengan mahkota halo.

Aku bersyukur,

Untuk pelajaran egois,

Untuk orang licik,

Untuk angkot penuh (dan bocor, dan pengap),

Untuk uang yang bahkan tak cukup untuk membeli sepasang sandal jepit,

Untuk jalanan becek,

Untuk bulan yang benar-benar indah,

Untuk malam yang anggun,

Dan untuk keindahan hidup yang masih bisa kurasa.

Terima kasih Tuhan. :)

Beauty of Life

Langit benar-benar gelap. Terlihat seperti seorang yang depresi dan tinggal tunggu waktu untuk meledak. Aku menunggu manis di kelas dengan jendela yang menghadap awan. Aku mendengarkan lagu low-beat dan berbincang ringan dengan teman-temanku yang juga memiliki tujuan yang sama, menunggu turunnya sang hujan.

Satu jam menunggu tetes dingin yang berasal dari awan jenuh, tapi tak juga kunjung datang. Kami memutuskan untuk pulang, dan seperti tipikal drama manusia, kami tentu kehujanan di tengah perjalanan kami. Tak apa, toh cuma sebentar.

Aku berjalan hati-hati mencari bangunan untuk berteduh. Meski baru rintik, entah mengapa orang-orang bisa seperti kesurupan. Hasilnya, aku ditabrak dua gadis kalap yang berteriak dan berlari tanpa mata, ketakutan butir hujan mengenai diri mereka.

Aw!

Aku berteriak kencang. Menodongkan moncong mulutku ke telinga mereka, berharap mereka menengok dan meminta maaf.

Sia-sia. Mereka lari seperti atlet atletik. Atau seperti copet terlatih. Mulutku tertarik menjadi bentuk tak sedap dipandang mata, manyun.

“kenapa mbak?” seseorang menyapaku sambil setengah tersenyum. Ups, kekesalanku terlihat mata lain ternyata.

“Aneh mereka” ucapku seadanya, sambil berlalu. Masih kesal.

“Gakpapalah mbak, namanya juga manusia, beda-beda.” Katanya setengah teriak, mengimbangi jarak kami yang semakin menjauh.

Aku hanya menatap dia dengan pandangan datar. Antara mengiyakan atau tidak peduli. Ia tersenyum lebar dan melambai, berjalan ceria menuju titik hujan yang makin pekat.

Ya terserahmu lah.



Cerita masih berlanjut, kini ke angkot.

Aku segera menghentikan satu angkot T 19, tujuan depok-TMMI, dan melihat masih ada sela untuk satu orang duduk di deretan bangku 6 orang. Aku masuk, dengan pelan, berharap mereka dengan sadar diri menggeser pantat untuk menerima pantatku bersebelahan dengan pantat mereka. Tapi nyatanya, tak ada yang bergerak satu centi pun, bahkan, tak ada yang sudi menggerakkan satu mili tubuhnya. Mereka seperti deretan robot keras kepala. Angkot sudah terlanjur jalan, aku setengah berjongkok di tengah, mati-matian mempertahankan keseimbangan.

Tak bisa begini, aku kesal dan protes minta turun. Sang supir menutup kuping tak peduli. Kampret. Seorang ibu dengan garis wajah kuat dan mata teduh mencolekku, berkata ia akan segera turun di depan situ. Aku berterimakasih padanya, sungguh-sungguh.

Dudukku sudah nyaman, aku mulai menyalakan perangkat musikku. Namun sebelahku terlihat tidak nyaman. Ia duduk dengan miring, bergerak-gerak, melihat kiri kanan membatasi teritori tak kasat matanya. Ia mundur kearahku, mendorongku dan satu gadis di sebelahku. Yap, ia sumber masalah bangku 6 orang penuh dengan 5 orang.

Satu orang turun, menyamankan semua orang di deret 6 orang, kini kami tinggal berempat. Hujan sudah tumpah ruah di luar. Kami duduk nyaman di dalam mobil yang hangat dan sedikit pengap. Di tengah kenyamanan itu, si oknum egois ini masih saja bergerak tidak nyaman. Sudah lebar, apa lagi yang ia cari? Emosiku mulai naik ke ubun-ubun. Entah dari mana, aku memilih untuk mengucap istigfar. Tak mau menambah dosa dengan memakinya di dalam hati. Aku membuang muka dan mulai berkonsentrasi mendengarkan lagu.

Ia pergi dari sisiku!

Apa yang terjadi? Ternyata mobilnya bocor. Tepat di bagiannya. Dan di bagian mana pun ia pindah. Ingin terkikik, ingin sekali. Tapi aku mengajarkan muridku untuk tidak bersenang di atas penderitaan orang lain. Maka aku mengunci senyumku dan berganti memerhatikan pria di ujung bangku, yang ternyata cukup menyenangkan untuk dilihat. Syukurlah.

Singkat cerita, oknum itu tetap sibuk menyelamatkan dirinya dari air dan berusaha menyamankan dirinya di angkutan umum itu. Sudah siap dengan payung padahal jalanan sungguh macet, Sama sekali tidak bergerak, berkali membersihkan kakinya yang terciprat air padahal air itu akan terus mengenai dirinya. Senjataku cuma dua: istigfar dan musik

Dari situ aku belajar, jangan pernah naik angkutan umum jika tak mampu melepas jaket egoismu. Jangan berani melangkah ke angkutan umum jika kenyamanan yang kau utamakan. Lebih baik sana cari taksi, dari pada satu angkutan menyumpahimu mati.