Rabu, 15 Desember 2010

Beauty of Life

Langit benar-benar gelap. Terlihat seperti seorang yang depresi dan tinggal tunggu waktu untuk meledak. Aku menunggu manis di kelas dengan jendela yang menghadap awan. Aku mendengarkan lagu low-beat dan berbincang ringan dengan teman-temanku yang juga memiliki tujuan yang sama, menunggu turunnya sang hujan.

Satu jam menunggu tetes dingin yang berasal dari awan jenuh, tapi tak juga kunjung datang. Kami memutuskan untuk pulang, dan seperti tipikal drama manusia, kami tentu kehujanan di tengah perjalanan kami. Tak apa, toh cuma sebentar.

Aku berjalan hati-hati mencari bangunan untuk berteduh. Meski baru rintik, entah mengapa orang-orang bisa seperti kesurupan. Hasilnya, aku ditabrak dua gadis kalap yang berteriak dan berlari tanpa mata, ketakutan butir hujan mengenai diri mereka.

Aw!

Aku berteriak kencang. Menodongkan moncong mulutku ke telinga mereka, berharap mereka menengok dan meminta maaf.

Sia-sia. Mereka lari seperti atlet atletik. Atau seperti copet terlatih. Mulutku tertarik menjadi bentuk tak sedap dipandang mata, manyun.

“kenapa mbak?” seseorang menyapaku sambil setengah tersenyum. Ups, kekesalanku terlihat mata lain ternyata.

“Aneh mereka” ucapku seadanya, sambil berlalu. Masih kesal.

“Gakpapalah mbak, namanya juga manusia, beda-beda.” Katanya setengah teriak, mengimbangi jarak kami yang semakin menjauh.

Aku hanya menatap dia dengan pandangan datar. Antara mengiyakan atau tidak peduli. Ia tersenyum lebar dan melambai, berjalan ceria menuju titik hujan yang makin pekat.

Ya terserahmu lah.



Cerita masih berlanjut, kini ke angkot.

Aku segera menghentikan satu angkot T 19, tujuan depok-TMMI, dan melihat masih ada sela untuk satu orang duduk di deretan bangku 6 orang. Aku masuk, dengan pelan, berharap mereka dengan sadar diri menggeser pantat untuk menerima pantatku bersebelahan dengan pantat mereka. Tapi nyatanya, tak ada yang bergerak satu centi pun, bahkan, tak ada yang sudi menggerakkan satu mili tubuhnya. Mereka seperti deretan robot keras kepala. Angkot sudah terlanjur jalan, aku setengah berjongkok di tengah, mati-matian mempertahankan keseimbangan.

Tak bisa begini, aku kesal dan protes minta turun. Sang supir menutup kuping tak peduli. Kampret. Seorang ibu dengan garis wajah kuat dan mata teduh mencolekku, berkata ia akan segera turun di depan situ. Aku berterimakasih padanya, sungguh-sungguh.

Dudukku sudah nyaman, aku mulai menyalakan perangkat musikku. Namun sebelahku terlihat tidak nyaman. Ia duduk dengan miring, bergerak-gerak, melihat kiri kanan membatasi teritori tak kasat matanya. Ia mundur kearahku, mendorongku dan satu gadis di sebelahku. Yap, ia sumber masalah bangku 6 orang penuh dengan 5 orang.

Satu orang turun, menyamankan semua orang di deret 6 orang, kini kami tinggal berempat. Hujan sudah tumpah ruah di luar. Kami duduk nyaman di dalam mobil yang hangat dan sedikit pengap. Di tengah kenyamanan itu, si oknum egois ini masih saja bergerak tidak nyaman. Sudah lebar, apa lagi yang ia cari? Emosiku mulai naik ke ubun-ubun. Entah dari mana, aku memilih untuk mengucap istigfar. Tak mau menambah dosa dengan memakinya di dalam hati. Aku membuang muka dan mulai berkonsentrasi mendengarkan lagu.

Ia pergi dari sisiku!

Apa yang terjadi? Ternyata mobilnya bocor. Tepat di bagiannya. Dan di bagian mana pun ia pindah. Ingin terkikik, ingin sekali. Tapi aku mengajarkan muridku untuk tidak bersenang di atas penderitaan orang lain. Maka aku mengunci senyumku dan berganti memerhatikan pria di ujung bangku, yang ternyata cukup menyenangkan untuk dilihat. Syukurlah.

Singkat cerita, oknum itu tetap sibuk menyelamatkan dirinya dari air dan berusaha menyamankan dirinya di angkutan umum itu. Sudah siap dengan payung padahal jalanan sungguh macet, Sama sekali tidak bergerak, berkali membersihkan kakinya yang terciprat air padahal air itu akan terus mengenai dirinya. Senjataku cuma dua: istigfar dan musik

Dari situ aku belajar, jangan pernah naik angkutan umum jika tak mampu melepas jaket egoismu. Jangan berani melangkah ke angkutan umum jika kenyamanan yang kau utamakan. Lebih baik sana cari taksi, dari pada satu angkutan menyumpahimu mati.

Tidak ada komentar: