Rabu, 15 Desember 2010

Beauty of Life II

Aku kembali ke toko servis hp, tempat si huronku tergeletak tak berdaya. Sudah ketiga kalinya, dan hpku belum sembuh juga. Aku sudah membayar mahal, terjebak. Jadi demi memaksimalkan apa yang sudah kubayar dan apa yang ia tawarkan, aku tetap menghantui mereka.

Aku tahu sifat orang ini, penipu cerdas. Banyak bicara, dengan bahasan menarik dan akhirnya menjebak si objek. Aku tahu, aku memborder diri. Ia tahu dan tersenyum sama-sama tahu. Meski begitu, ia masih saja mencoba menawarkanku barang-barang dengan harga dua kali lipat, atau memanipulasi info sehingga jadi membingungkan. Aku menerka-nerka, siapa yang mampu hidup bersamanya? Dengan sifat yang sebegitunya.

Tak lama datang dua orang, satu orang dewasa, satu anak kecil. Si anak kecil memiliki garis-garis wajah dengan orang licik ini. Si licik tersenyum super indah ketika melihat si anak kecil.

“kakak..!”

Anaknya. Pancar sayang tertumpah di toko kecil itu, hangat menjalar membuatku menarik senyum tanpa kusadari. Sang orang dewasa, manis dan terlihat sabar, tersenyum sopan kearahku. Sang istri. Mereka berbincang hal sepele, aku mengutak-atik ipod, sok sibuk mencari sinyal wifi. Aku mendengarkan perbincangan mereka. Si licik masih tak bisa melepaskan titel liciknya, sifat bawaan, tak bisa hilang seratus persen. Sang istri menanggapi dengan santai tapi menusuk, penuh sayang tapi tetap berhati-hati. Hubungan apa yang sedang mereka jalani? Tapi kulihat wajah mereka sama-sama bahagia. Ya mungkin itu yang mereka cari, kebahagian dengan bentuknya sendiri.

Cinta bisa datang dengan bentuk apa saja dan ke siapa saja. Dan bisa benar-benar bahagia tanpa ada yang mampu mengerti mereka, cukup hati yang merasa.

Malam mengintervensi, tak peduli dengan badai yang sedang asyik mengamuk. Gelap, hujan, angin dan klakson. Hah. Tapi tak lama badai pergi, meninggalkan jalanan yang jauh dari sepi. Aku memilih berjalan kaki daripada terjebak macet.

Jalan kaki malam ini tentu tidak bisa mengajak serta sepatu kilap-kilapku yang centil ini. ia terlalu manis untuk dihantam dengan lumpur setelah badai. Aku pun memutuskan untuk membeli sandal jepit, seingatku masih ada uang di dompet. Merasa tak yakin, aku mengintip dompetku, ternyata tidak cukup. Aku tidak rela menerjang lumpur dan becek dengan si centil ini, tapi ada daya? Yasudah. :)

Langkah pertamaku disambut taksi yang berjalan dengan setengah badannya ada di trotoar, entah apa maksudnya itu. Berlanjut menuju tepian jalan, aku berjalan pelan menikmati kelap kelip lampu dan jejeran kendaraan terparkir di tengah jalan dengan menyumpal telingaku mendengarkan lagu sinzing sunset boulevard yang menyenangkan.

Pemandangan yang kudapati: Bapak dan anak yang sedang asyik mengobrol dengan membawa aki bersama. Sungguh manis. Angkot mogok dengan dua orang sibuk di dalamnya. Penerangan yang temaram dengan latar belakang warna warni merah dan terang, indah. Penjaga toko asongan yang sedang merokok, angin yang tipis membuat asapnya bergerak perlahan disekitarnya. Lampu merah tempat aku menyebrang, putih terang di depanku, merah statis dibelakangku. Mobil tua yang berhenti menyilang disampingku. Entah memang cari mati atau benar-benar bodoh, ia ingin menembus lampu merah dan terjebak di tengah. Padahal ada dua polisi sedang mengatur jalanan didepannya. Pasti ia memiliki alasannya sendiri, mungkin. Hidup penuh dengan hal-hal yang tidak kita mengerti.



Selesai dengan masalah jalan raya yang terlihat menyenangkan dengan soundtrack yang tepat, kini saatnya menikmati jalan setapakku. Mataku menatap lampu jalan, biasanya habis hujan pasti mati dan hal itu membuatku harus berjalan di tepi jalan, karena aku takut jalan di trotoar yang gelap. :P

Tapi syukurnya, malam ini lampu jalan menyala rata. Mataku terseret ke titik cahaya di langit.

Bulan malam ini sangat indah!

Ada halo terang disekelilingnya, awan pekat berwarna abu-abu terpecah disekitarnya, seperti retakan laut es di kutub utara. Bintang utara setia menemani sang bulan. Terasa romantis, apa pun hubungan yang sedang mereka bina. Bulan malam ini mirip dengan bulan yang tersaji di malam tahun baru, pukul 2 pagi. Langit benar-benar cerah dan bulan bersinar megah, dengan mahkota halo.

Aku bersyukur,

Untuk pelajaran egois,

Untuk orang licik,

Untuk angkot penuh (dan bocor, dan pengap),

Untuk uang yang bahkan tak cukup untuk membeli sepasang sandal jepit,

Untuk jalanan becek,

Untuk bulan yang benar-benar indah,

Untuk malam yang anggun,

Dan untuk keindahan hidup yang masih bisa kurasa.

Terima kasih Tuhan. :)

Tidak ada komentar: