Jumat, 12 Maret 2010

My fav short story.

Lambaian tangan 90 derajat

            Tanganku sibuk memilih baju apa yang akan kupakai. Malam ini istimewa. Hanya terjadi 2 kali dalam sebulan. Mungkin lebih jika aku sedang beruntung. Bibirku tertarik keatas membentuk sebuah senyum permanen di wajahku. Mataku berbinar tanpa bisa kusembunyikan. Sebuah ekspresi emas ditengah kehidupanku yang berkarat ini.
 “Seneng banget lo Cit!” sapa Lala, teman sekamarku.
            Aku melebarkan senyumku sampai mataku menyipit bahagia. Sudah, cukup senyumku saja yang kubagi. Lainnya tidak. Toh takkan ada yang mengerti juga. Lebih baik aku menyimpannya sendiri. Lebih indah begini.
            Waktu mulai menunjukkan pukul 10 malam. Ia belum datang juga. Ini malam minggu. Seorang gadis normal akan dikunjungi pacar pada malam ini. Berkencan, berbagi cerita dan berlimpah cinta. Pulang dengan tidak rela dan segera menelepon ketika baru berpisah selama 5 menit. Seakan waktu seperti berlian yang kasat mata. Begitu mahal dan berharga.
            Aku bisa jadi salah satu dari berjuta gadis normal yang mengalami hal itu. Aku dikunjungi, kami berkencan, berbagi cerita, namun berlimpah nafsu. Bukan cinta. Tapi apalah itu, nafsu adalah pengertian cinta yang baru. Jangan protes, biarkan aku berdiri di atas pendirian rentaku ini.
 “Cit, dicariin tuh!”
            Aku terlonjak. Tertarik dari dunia kecilku. Aku mengerjapkan mata dan segera mencari siapa yang mencariku. Ia datang. Dengan senyum yang biasa dan gerakan tubuh yang sudah kuhafal. Tangan kirinya ada di saku celana sementara tangan kanannya terangkat membentuk sudut 90 derajat yang kuartikan sebagai lambaian tangan. Aku tak bisa menyembunyikan senyumku. Dadaku bergetar pelan.
            Tanganku meraih tangannya. Kami bergandengan tangan. Berjalan pelan di tengah hiruk pikuk suasana yang tercipta. Aku menapaki langkahku perlahan. Ingin merasakan keindahan ini dengan sungguh-sungguh.
 “Apa kabar?” tanyanya.
            Sebuah pertanyaan retoris. Sungguh tak perlu jawaban. Karena tepat setelahnya, ia sudah sibuk denganku. Dengan tubuhku tepatnya. Tak usah terburu-buru. Aku sepenuhnya milikmu. Semua ini untukmu dan memang hanya untukmu.
            Tanganku menyeka peluh didahinya dengan perlahan. Penuh perasaan. Mungkin ia tak menyadarinya, pasti ia tak menyadarinya. Matanya terpejam serius. Aku memilih membuka mata, memperhatikan detil wajahnya. Alis hitamnya, hidung lancipnya, bibir tipisnya, kelopak yang menyelimuti mata coklat tuanya. Matanya, yang sering kali aku terbawa didalamnya. Menyelam seorang diri. Menikmati kepekatannya, misteri yang tak berani kuungkap.
Sering ia mengatakan betapa indah senyumku. Percayalah, matamulah yang membuat segalanya menjadi indah. Bahkan di tengah pengapnya kehidupanku, keindahanmu mampu membasuhku. Hadirmu sama seperti lainnya. Hanya hatiku yang mengatakan kau berbeda. Maka aku menyerah padamu, seadanya.
Nafasnya berhembus pelan, detak jantungnya teratur. Ia terlelap, dipelukanku. Tak ada hal yang lebih indah yang bisa kubayangkan selain ini. Keindahan ini akan berlangsung kira-kira setengah jam. Setengah jam yang setiap detiknya kuresapi sepenuh hati. Setengah jam untuk merengkuhnya dengan tenang, setengah jam yang diisi dengan mengelus rambutnya atau menyatukan detak jantungku dengannya. Yang biasanya tidak imbang, karena selalu aku yang berdetak lebih cepat. Setengah jam yang bahkan rela kutukar dengan seluruh hidupku.
Matanya membuka perlahan. Tepat setengah jam. Aku telah menghitung setiap detiknya. Matanya kembali menutup, mulutnya bergugam pelan pertanda ia tak rela untuk bangun. Aku memandangi makhluk tuhan dimana telah kutitipkan hatiku padanya. Meski ia tak tahu.
Ia telah beranjak. Kini mulai berpakaian. Aku masih memandanginya. Memang hanya itu yang bisa kulakukan. Masih kurasakan wangi tubuhnya disekelilingku. Kuhirup diam-diam. Kusimpan di paru-paru, agar sang hati bisa ikut membauinya. Ia bergerak pelan, tidak seperti biasanya. Mungkin ia terlalu lelah.
Ia mencari dompetnya, mulai menghitung uang, mengambil sejumlah diantaranya. Lalu ia memandangku. Inilah saat dimana ia akan mengucapkan ‘sampai ketemu minggu depan’ atau yang sejenisnya. Inilah saat dimana ia akan tersenyum dan berterimakasih padaku. Dua hal yang cukup indah untuk diabadikan di setiap pertemuan kami.
 “Makasih ya” ucapnya sambil menaruh uang di meja.
            Aneh, ia tak mengatakan kalimat biasanya. Mungkin ia lupa. Aku tersenyum menjawab terimakasihnya dan kembali menunggu. Kalimat yang lupa ia katakan.
 “Oh iya..”
            Ini dia, kalimat yang akan menjadi semangatku selama 2 minggu kedepan.
 “..minggu depan aku nikah. Dan kayaknya aku ga akan kesini lagi deh. Jadi ini pertemuan terakhir kita. Makasih buat selama ini ya, Citra” ia meluncurkan kalimat itu dengan santai. Ia bahkan menyebut namaku dengan senyum.
            Aku limbung. Tersihir dengan kalimat terakhir yang dikatakan olehnya. Jemariku membeku, wajahku membatu. Jantungku berdegup tak karuan dan hatiku mati tak ketahuan.
            Ingin aku berlari dan memeluknya. Memohon agar jangan pergi. Atau setidaknya jangan tidak kembali. Biarkan aku menjadikanmu matahari. Meski poros kita tak sama. Biarkan aku merasakan hangatmu walau harus menempuh waktu putaran yang lama.
            Aku memegangi dadaku. Menahan sesak yang entah datang dari mana. Kakiku kutancapkan kuat-kuat di kasur. Tak mungkin aku menghambur ke dirinya. Aku siapa?
            Ia kini sudah berada di depan pintu, melambaikan tangannya dengan bentuk 90 derajat. Lambaian perpisahan yang tak biasa. Namun cukup ampuh untuk membuat perasaanku hancur binasa.
            Pintu telah tertutup. Begitu juga dengan hidupku. Sudah tutup. Baru saja aku mendapati perpisahan yang paling tidak romantis sedunia. Ia bahkan tak mengecupku barang sekejap atau memelukku walau sejenak. Hanya berjalan pergi sambil melambai aneh. Hatiku perih sejadinya. Muntahan kata-kata cinta untuknya yang sedari tadi ada di tenggorokanku sudah tertelan hilang bersama sesak ini. Tersepak jauh oleh keadaan. Aku ditamparmu, kenyataan.
            Pria lain masuk melalui pintu itu. Pintu yang sama yang membawa pergi pemilik hatiku. Tak ada cara lain kecuali menghadapinya. Aku, si pelacur yang tak boleh merasa. Harus kembali bekerja walau hidupku berakhir baru saja.

2 komentar:

Zahra mengatakan...

mana mana manaaaaaaa
bukunyaa

faela shafa mengatakan...

sebentaaarr sabarr lagi diprosesss hehehe