Senin, 30 September 2013

A Really Ordinary Monday

Saya tak pernah benci dengan hari Senin. Karena, selama ini saya selalu punya alasan yang lebih menyenangkan untuk menghadapi hari Senin. Tapi Senin ini, semua terasa terlalu biasa.

Ya, akhir pekan saya hampir selalu keren, menyenangkan dan seru. Baik itu di rumah diam saja atau ke mana-mana sampai lupa tidur. Semua asyik, semua seru.

Senin pun tak kalah seru. Saya punya teman-teman yang bisa diajak bercanda kapan saja, tentang apa saja. Saya punya pula teman-teman yang selalu ramai di chat group. Pokoknya, Senin bukan masalah buat saya, hari kerja bukan kekangan hidup saya.

Tapi hari ini, Sastri lagi asyik cuti, solo traveling ke Sukothai, Thailand selama seminggu. Putri lagi liputan. Ada Afif yang bisa diajak bercanda sih. Tapi hari ini dia lagi piket.

Yasudah saya sendiri saja duduk di meja. Anteng. Tanpa banyak becanda. Paling cuma beberapa, meski becandaan basi, tetap saja senang karena bisa menarik kedua ujung bibir saja jadi sebuah senyuman (garing).

Gah! Am so bored, please lemme go!

Hari ini biasa saja. Sungguh biasa. Saya tidak ngantuk. Saya tidak bosan (banget). Cuma sedang mengeluhkan sensasi biasa ini. Syukurnya, hari ini terasa cepat berlalu. Tiba-tiba sudah hampir pukul 16 sekarang.

Rencananya nanti sore saya mau bertemu dengan teman saya, Yosa yang saat ini sedang sibuk terus. Semoga jadi dan kami janji, kami akan menghabiskan waktu dengan sebodoh-bodohnya.

#30haringisiblog day 5

Jakarta 30.9.2013 3.52 PM

Sedang mendengarkan Michael Buble. Mengantuk tidak, melow pun tidak. Datar sekali hari ini. Saya tidak suka hidup yang datar.

Sabtu, 28 September 2013

Soul Healer: Wonosobo

"Wonosobo itu menenangkan, semuanya membuat tenang, seperti obat jiwa,"

Begitulah kata Gol A Gong waktu saya wawancara mengenai destinasi wisata yang menenangkan untuk artikel. Itu sudah lama, lama sekali. Tapi saya selalu ingat. Tanpa bayangan, saya membulatkan hati ingin ke sana.

Sore di Alun-alun

Setelah ini itu, sekian lama, akhirnya datanglah saya ke sana. Tak perlu waktu lama bagi kota kecil nan teduh itu untuk membuat saya jatuh cinta padanya. Kotanya bersih, jalannya mulus, pepohonannnya rindang. 


Yang tak bisa saya lewatkan, penduduknya ramah, kotanya, meski sudah di pusat kota, tidak terasa terlalu hiruk-pikuk. Saya senang sekali menghabiskan waktu di alun-alunnya. Sambil merinding karena udaranya cukup dingin.

Kota tenang ini menawarkan keramahan dan kebaikan yang tak berharap balas. Suatu sore yang gerimis, saya sedang asyik menikmati mie ongklok yang hangat dan enak. Tiba-tiba ada motor jatuh. Mungkin karena licin sedang hujan.

Penjaja mie ongklok, yang kebetulan orang itu jatuh di depan gerobaknya, langsung menolong. Teman saya, Bagus, juga langsung membantu sang korban. Abang mie langsung meminggirkan motor dengan seksama, memarkirkannya dan mengambil kunci. Setelah itu, meneliti motor apa ada yang rusak atau tidak. 

Ia mendatangi korban sambil memberi kunci, "Ndak papa motornya mas, masnya ada yang luka?" katanya kuatir. Dijawab anggukan terima kasih dari sang korban.

Sebelumnya, saat ditolong, bahkan dengan masih susah payah berdiri, sang korban, yang kira-kira masih kuliah ini, sempat-sempatnya mengungkapkan terima kasih kepada teman saya, "Makasih ya mas," tuturnya sambil terseok dipapah Bagus. 

Tak lama, seorang ibu dari kejauhan datang dengan kedua tangan di belakang. Matanya memperhatikan korban ini dari atas sampai bawah. Saya mikir, "ibu-ibu penasaran juga..". Sampai akhirnya,

"Ini nduk minum dulu, basuh dulu lukanya," ujarnya sambil memberikan aqua gelas ke korban. 

Ibu ini ternyata penjual minuman di ujung jalan. Melihat kejadian ini, dia gak kepo (gak kayak saya). Dia malah mendatangi buat nolong. Ah terharunya saya.  


Kebayang gak kalau di Jakarta. Melihat orang jatuh, orang-orang langsung mengerubung seperti semut mendatangi gula. Bedanya, kalau semut mengambil gula, orang-orang ini hanya menontoni seperti sedang nonton dangdut dorong. Ada yang berhenti langsung foto, ada yang mondar-mandir sambil menelepon (gak tau nelpon siapa), ada yang nanya-nanya, ada yang cuma diem aja kayak di depan kuburan. Yang benar-benar menolong? Bisa dihitung dengan jari. 

Cerita lain waktu saya naik angkot. Waktu itu angkot cukup penuh, ada dua anak sekolah yang memberhentikan mau naik. Tapi karena malas duduk di bangku tambahan, dua anak itu tak jadi naik, "Pa'e ndak jadi ya.." dengan nada yang lembut. (Kalau di Jakarta, gak jadi naik itu biasanya pake nada ketus sambil buang muka, atau nada sok sibuk yang habis itu melipir entah ke mana)

Saya langsung berpikiran, pasti didamprat nih. Ya kalau di Jakarta, kalau berhentiin angkot dan ga jadi naik pasti udah dikata-katain atau at least, dijutekin tanpa ampun. Tapi ternyata tidak.

"Inggih.." jawab sang supir dengan lembut dan jalan lagi tanpa rasa kesal sama sekali. 

Masih banyak, banyak sekali kejadian-kejadian yang membuat hati saya hangat. Positif sekali aura yang saya dapatkan selama dua hari itu. Dari sanalah, tersadar betapa saya sangat apatis selama ini. Betapa mudahnya saya berpikiran buruk dengan sekitar. Betapa saya ingin membalas semua keburukan yang telah datang ke saya. 

Di sana, saya belajar lebih ramah. Di sana pula, saya belajar ikhlas menghadapi hidup. Jangan terlalu ingin adil dan tidak mau mengalah. Mengalah untuk menang. Akhirnya saya mengerti arti itu. Bukan untuk menang mencapai yang nomor satu. Lebih kepada menang untuk ketenangan hati. Hati yang tenang membuat semua lebih indah. 

Ia dapat lebih baik, biarkan saja. Ia tidak memberikan apa yang saya harapkan, yasudah. Berusahalah sebaik mungkin, tapi terimalah kenyataan. Hati yang bersih dan hidup yang bahagia bahkan mampu membuat iri orang paling kaya dan berkuasa di dunia. Bersyukurlah. 

#30haringisiblog day 4
Depok, 29.9.2013 12.40 PM
Terpaksa selesai karena saya disuruh goreng tempe mendoan sama ibu tersayang. Selamat hari Minggu! 

 
Kalo sore, ya nongkrong di sini


 
Jalannya bersih, temboknya asik


 
Taman kota. Cakep ya!


Jl A Yani, jalan favorit saya. Lurusan pasar dan beragam kedai makanan :9
 
Beringin di Alun-alun, sejuk deh!

Semahal Apa Kata Maaf Itu?

Karena gengsi, ada yang rela perang dingin sampai seminggu bahkan seumur hidup. Padahal kuncinya satu, maaf. Baik meminta maaf atau menerima maaf. Jadi, seberapa mahal sih sebenarnya maaf itu sendiri?

Baru saja teman saya, sahabat saya, berpanjang lebar mengemukakan keberatannya atas ceng-cengan saya dan teman saya lainnya. Tidak satu dua kalimat, tapi nyerocos tanpa jeda. Syukurnya tidak secara langsung, karena jika iya, kami pasti sudah salah tingkah.


Tapi kalimat-kalimatnya yang seakan sudah dipendam bertahun-tahun itu mampu membuat saya meringis salah tingkah seakan dia ada di depan saya. Saya tahu betapa kesalnya dia. Kami memang tak tahu bahwa sebegitu dalam ia terganggu dengan candaan kami.


Awalnya, saya mau cuci tangan saja. Diam dan tidak membalas sampai pembicaraan berubah arah. Tapi saya sedang berusaha jadi manusia yang lebih simpel. Jadilah saya lewatkan ego dan gengsi.

"Yaudah, maaf ya kalo ternyata itu nohok, nanti kita sebisa mungkin ga ceng-cengin itu lagi ya,"

enter.

Dan saya merasa lebih tenang, bebas. Tinggal tunggu bagaimana tanggapan dia. Butuh sejam lebih untuk menenangkan diri, mungkin. Akhirnya anak ini kembali muncul, dengan suasana hati yang lebih tenang, dan syukurnya, menerima maaf kami dengan cepat.


Andai tidak ada maaf dan hanya ada pembelaan diri dari masing-masing, entahlah. Mungkin room chat kami sudah sedingin freezer yang pintunya rusak, atau malah sepanas wajan sudah kehabisan minyak.

Di lain sisi, saya pun sedang perang dingin dengan salah satu sahabat saya (iya sahabat saya banyak, kayak sahabat Dahsyat). Sudah cukup lama, mungkin satu bulan. Kami sama-sama Gemini, ego kami sama-sama tinggi.


Satu yang membuat saya diam tak bergeming, saya tak paham di bagian mana saya harus minta maaf. Jadi, ya, maaf, kami tidak berhubungan sementara dulu ya.

Saat ini memang saya sedang belajar mengakui kesalahan langsung kepada yang bersangkutan. Saya juga sedang belajar menerima maaf walaupun sebenarnya kesal. Tapi, saya belum mau belajar selalu meminta maaf di setiap saat. Maaf, kata maaf saya dibarengi logika yang masuk akal.

 

#30haringisiblog day 3

Jakarta 28.9.2013 4.05 PM
Masuk Weekend yang lumayan panjang. Setelah ngurusin draft Travel Highlight dan sedang tidak sabar menunggu editan berita terakhir. Habis ini saya mau lari sore di taman kota terdekat. :)


*Saya sebenarnya sudah nulis ini dari sore, tapi pas mau pulang kantor baru inget kalo belum posting. Setelah capek main dan ketiduran, barulah posting sekarang. :D

Kamis, 26 September 2013

Melihat Sifat Seseorang dengan Naik Gunung

Selama ini saya yakin, jika ingin melihat sifat asli seseorang, suruh dia menyetir. Bukan 1-2 jam, tapi kalau bisa seharian. Tapi, kata teman saya, melihat sifat orang juga bisa dengan perjalanan saat naik gunung.
 
Kalau dengan menyetir, lewati saja rute-rute yang membuat stres. Lihat bagaimana ia mengatasi kemacetan, bagaimana dia menanggapi kendaraan lain yang mengesalkan dan lainnya. Juga, lihat bagaimana reaksi mereka saat jalan yang dilewati ternyata salah. Dari situ terlihat jelas apakah dia orang yang pemarah, penyabar, lelet, malas dan lain-lain.

Selama ini berhasil saja, sampai akhirnya teman saya yang bernama Bagus Sekti Wibowo yang biasa dipanggil Dado berkata, "Kalau mau liat sifat asli orang, ajak naik gunung," ujarnya sambil menyeka hidung yang sudah terlalu banyak kemasukan debu dan tanah.

Kemarin, saya bersama sahabat entah berapa belas tahun saya, Rani Amelia yang biasa saya panggil Ayam, dan Dado naik gunung. Bukan gunung yang tinggi dan juga bukan gunung yang menantang seperti di film 5cm. Gunung Prau di dataran tinggi Dieng ini jadi pilihan kami karena awalnya kami memang ingin liburan ke Wonosobo.

Tapi karena waktu itu saya membuat artikel yang mengharuskan wawancara dengan Harley B Sastha, sang empunya buku Mountain Climbing for Everybody, jadilah saya tergoda ingin ke Prau.

"Di Prau ada Bukit Teletubbies yang kalau musim kemarau ditumbuhi bunga cantik sekali. Rutenya juga gak susah, tingginya lumayan, enak deh," ujarnya dengan penuh persuasif.

Jadilah kami berangkat. Dengan pede setingkat Burj Al Arab, saya semangat sekali naik gunung. Maklum, belum pernah sama sekali. Tidak mengagetkan, baru berapa langkah mendaki, saya langsung balik badan dan melempar tas sambil menasbihkan diri, "Udah gua anak pantai!".

Mungkin saya kurang tidur, mungkin saya kelaparan atau tidak tahan dingin. Dada seperti ditusuk-tusuk, mata berkunang-kunang, jantung berdegup kencang dan badan keringat dingin. Saya cuma tidak mau collapse di kampung orang. Jadi saya duduk dengan nestapa di tepian terasiring penduduk. Meninggalkan kedua teman saya yang berdiri dengan sabar menunggu saya kembali berdiri.

Singkatnya, dengan pakai jaket agar badan tetap panas, saya lanjutkan perjalanan. Dan, ngg, dengan tas dibawakan oleh Dado, saya melanjutkan trekking. Setelah berkali-kali berhenti (karena saya), akhirnya kami benar-benar berhenti untuk makan siang.

Ya benar, setelah makan siang, saya kembali bawa tas sendiri. Rani, anak yang belum pernah naik gunung tapi sangat suka dengan gunung (tidak aneh ya) ini mendaki terus tanpa merasa lelah. Ia sempat beberapa kali tidur siang demi menunggu saya dan Dado (ia selalu menunggu di belakang saya karena tidak percaya jika saya ditinggal sendiri).

Makin ke puncak, makin ketek sekali treknya. Saya megap-megap. Dado kerap menyemangati saya dengan kata-kata palsu "dua belokan lagi sampe pi!". Pret!

Di nafas seadanya, dan sudah benar-benar kesal dengan jalan yang curam, saya berteriak minta tolong ke Rani (yang sudah di puncak) untuk turun dan membawakan tas saya. Mungkin karena semangat, mungkin karena kasihan, ia turun kembali dan mengambil tas saya.

Sepanjang perjalanan, tak ada yang menjatuhkan saya dengan kata-kata pedas. Sepanjang pendakian, mereka mau menunggu saya dengan sabarnya. Padahal, tas yang dibawa Dado benar-benar berat. Padahal, saya tahu betapa tak sabarnya Rani ingin segera sampai puncak.

Mereka baik. Tanpa dipaksa. Tanpa syarat. Sungguh sayang saya (semoga iya). Nah, setelah sampai puncak, barulah banjiran ceng-cengan dan hinaan menumpahi saya. Toh tapi waktu saya kedinginan mereka tetap mencarikan yang terbaik buat saya agar tidak gemetaran lagi.

Sebenarnya, tanpa naik gunungpun saya tahu seperti itu sifat mereka. Itulah yang terpampang di keseharian mereka. Tapi dengan ini, saya jadi yakin, ya memang seperti itulah sifat asli mereka.

Saya pun bisa mengenal diri sendiri dengan lebih baik. Bagaimana saya menghadapi saat putus asa. Bagaimana melewati batas kemampuan. Sejauh mana saya mau mengejar orang lain yang lebih dulu. Bagaimana saya menyayangi diri sendiri. Serta, bagaimana saya tetap bisa bersenang-senang saat sedang tersiksa. :)


up up there


*#30haringisiblog day 2
27.9.2013 11.26 AM
Tanggalan di komputer lagi berantakan jadinya publishnya keliatan kemarin deh. Sumpah deh ini hari Jumat. :DD

Falling for You

Dalam waktu 3 hari ini, (kayaknya sih) udah 4 kali saya jatuh. Tapi yang saya ingat cuma 3 aja sih.Mungkin satunya lagi, jatuh hati sama kamu. Yes?

Yang pertama karena ketula pas lagi turun gunung. Sebelumnya saya liat ada 2 anak kecil asik dry-soil boarding pake sepatu mereka pas turun gunung. Saya ngeliat trek turunannya yang licin banget gara-gara tanahnya kering. Cuma ngedumel sendiri, "Asik kali ya nyero.." sroooooooooot! Sayapun kepeleset dan nyerosot dengan cakepnya di turunan itu.

"Iseng sih, mangkanya kalo ngomong jangan sembarangan," kata teman saya, Dado, yang kesabarannya mulai tipis saat menghadapi saya.

Selanjutnya di Wonosobo saat sedang mencari hotel. Saya asyik sendiri melihat kiri-kanan yang isinya para pedagang (kebanyakan pedagang buah) di pasar induk Wonosobo. Sampai saya tidak sadar kalau jarak antara trotoar dan jalan raya bisa sejauh itu. Jadinya kaki mendarat miring dan badan jatuh ala model yang mau diculik. 

Tangan kiri menggapai bemper mobil lagi parkir, tangan kanan pasrah terjatuh ke aspal. Badan miring seadanya soalnya keril di punggung beratnya kurang ajar. Dibangunin sambil diketawain sama kedua teman saya si Rani dan Bagus. Oleh-oleh dari jatuh itu ya luka di lutut dan malu sama mbak penjaga warung di depan tempat saya jatuh. 

Lalu, baru saja kejadian hari ini. Saya jatuh nyusruk sedemikian rupa di depan gerobak gorengan. 

Bekasnya, yang paling besar, malu. Malu sama penjaga warung depan abang gorengan yang setiap hari saya lewatin. Malunya ga berujung. Menyedihkan. Luka nambah pula di dengkul. Memar dua di dengkul, satu di tangan dan satu di kaki. 

Bukan main, sangat anak esde ya kelakuan saya!

*Jadi, saya ingin bermain #30haringisiblog
Dari mana asal mainan ini? Dari saya aja. Sudah terlalu banyak cerita yang saya simpan sendiri di kepala. Sudah berderet kisah-kisah yang dijanjikan akan digoreskan di sini. Kasihan mereka. 
Baiklah. Ini hari pertama ya. Walau sudah malam, tetap saja ini itungannya hari pertama. Sampai berjumpa di hari esok dan 28 hari lainnya!

Depok, 26.9.2013 10.09 PM
Dengan mata sepet tapi tangan masih kegatelan pingin nulis.