Rabu, 11 Juli 2012

Sindrom Lulus Kuliah, Why So Scare?



Pilgub Jakarta 2012 hari ini berimbas pada kantor tempat saya bekerja. Kami libur! :D Selagi menikmati libur tengah minggu mendadak, hidup saya pun berubah layaknya pengangguran anak kuliah yang baru lulus. Dan hari ini, bahagia sekali rasanya bisa hidup ala pengangguran yang baru lulus kuliah, meski cuma sehari. :D
 
Waktu itu, tahun 2009, saya dinyatakan lulus dari univ dimana saya menimba ilmu. Sebelum wisuda, ada masa-masa menganggur yang benar-benar wasted. Di bulan-bulan inilah saya dan teman-teman saya mengerti apa yang artinya buang-buang waktu. Masalahnya, kami masih berstatus mahasiswa namun sudah tidak diaku, mau berstatus sudah lulus tapi masih ngurus surat-surat kelulusan. Setiap hari diisi dengan nongkrong di kampus, ngapain aja selain nyari kerja. Kelompok bermain (baca: geng) saya berisi anak-anak pasrah yang senang menikmati waktu. Nongkrong, main, ngumpul, nginep-nginepan dan jalan-jalan  jadi kegiatan rutin sampe wisuda menjelang.

Lalu, saya masih terbawa kehidupan ala mantan mahasiswa yang madesu. Sepanjang malam asik sendiri di depan laptop. Entah download lagu, nonton dvd, dan blog walking yang aneh-aneh. Kebanyakan sih nonton dvd serial. Terus melotot sampai hampir subuh. Solat subuh terus bercinta sama bantal dan guling sampai tengah hari. Bangun biasanya jam 1an, garuk-garuk kepala, mondar-mandir rumah yang biasanya udah kosong, ngintip meja makan dan kembali nyalain laptop. Lanjut nonton dvd atau ngobrol via ym sama temen-temen sekadar nanya udah dapet kerja atau belum.

Setiap ada yang dipanggil wawancara, saya seperti tercambuk. Langsung mendadak nyari kerja, daftar jobsdb, jobstreet dan kawan-kawannya. Waktu itu saya masih keukeuh mau di bagian jurnalistik. Dengan modal suka baca buku dan suka nulis diari, saya beranggapan kalau potensi terbaik saya ada di bidang penulisan. Hari ganti jadi minggu lalu jadi bulan. Tidak dipanggil jua oleh mereka yang saya lemparkan CV via email. Depresi? Tentu. Ringkasan hidup saya yang 2 lembar itu tidak mampu menarik hati mereka untuk menghire saya, bahkan ga juga dipanggil buat wawancara. Hiks.

Lama saya mengganggur sudah hampir tidak muat dihitung dengan satu tangan. Saya mulai kalap, sampai akhirnya anggota teman permainan (baca: geng) yang terakhir menganggur tiba-tiba sudah masuk kerja di advertising! Salah satu ranah yang menarik minat saya. Gak terima jadi anak yang terakhir nganggur, mulailah saya daftar kesana-kemari. Benar-benar lupa sama minat. Kerja apa aja yang penting bisa ke kantor setiap hari. Punya penghasilan sendiri, walau ujung-ujungnya masih minta ongkos sama bapak tercinta.

Setiap ada wawancara, sesi di depan laptop saya jadi lebih berguna. Nyari alamat, nyari tahu tentang perusahaan itu, sama nyari info mengenai divisi yang saya pilih berdasarkan filing. Tapi setiap habis wawancara, kegiatan di depan laptop kembali sama, kecuali saat bagian Shalat, sedikit lama di bagian setelah mengucap salam. Jam tidur pun semakin berantakan. Masalahnya, nokturnal jadi-jadian ini harus bisa menyesuaikan jam bangun. Saat wawancara, saya bisa berangkat dari jam 6 pagi. Naik angkot atau kereta sambil bawa-bawa amplop isi app letter dan CV. Paling nyiksa kalo naik kereta. Penuhnya bikin copet pun ga bisa gerak. Tapi at least kereta bisa menghemat 1 jam perjalanan. Jadi walau kayak dilaminating, saya tetap pilih kereta.

Lalu sampailah di mana doa-doa saya (atau sebenarnya doa kedua orangtua saya) didengar Tuhan, sebuah sekolah memanggil saya, bertanya apakah saya siap jadi tenaga pengajar di sana. Tanpa pikir panjang, saya mengangguk. Meski setelahnya saya sempat bengong lama, sejak kapan mimpi saya di jurnalistik bisa dibelokkan ke ranah pendidikan. Tetap bersyukur, saya menjalani hari dengan indah di sana. Atmosfer kerja yang sangat-sangat kondusif dan manisnya jiwa murni anak-anak menjaga hati saya tak bosan mengucap syukur kepada Tuhan. Suatu hari saya pernah teringat, waktu SMP, kala orang lain sibuk mengemukakan pekerjaan impiannya, saya menjawab dengan mantap; Gue mau jadi guru! And there I was, being a teacher and happy. :)

Beberapa bulan setelahnya, barulah saya mensyukuri waktu-waktu gabut itu. Bersyukur saya pernah hidup buang-buang waktu, membaca apa saja yang ingin saya baca, menonton apa saya yang rasanya seru, pergi ke mana saja tanpa bingung waktu kerja. Meski tak berpenghasilan, saya senang (pada waktu itu). Selalu ada kebebasan di semua keterbatasan dan selalu ada keterbatasan di balik kebebasan yang katanya tak berbatas.

Semua ada masalahnya, yang nganggur iri sama yang kerja karena mereka punya penghasilan. Sedangkan yang kerja pun iri dengan yang nganggur, karena punya waktu bebas yang tak berbatas. Saya tidak mengajak untuk menganggur ramai-ramai, cuma saja, jangan selalu depresi saat menganggur. Karena depresi hanya akan menakutkan setiap HRD yang kamu temui. Nikmati waktu yang sedang berlangsung, tanpa harus mengurangi usaha keluar dari jalan buntu. Percaya deh, semua orang akan kangen sama waktu-waktu wasted yang pernah mereka lalui (sotoy bener shafa ini ya). :D